Pelatih Italia Cesare Prandelli gagal menumbuhkan motivasi kuat kepada para pemainnya, khususnya striker Mario Balotelli. Super Mario yang sempat tampil menggigit pada awal-awal babak pertama ikut melempem melihat kawan-kawannya bermain tanpa strategi yang jelas.
Balotelli yang punya karakter ”bengal” itu memang bukan pemain yang mudah ditangani. Terbukti selama ini hanya seorang Roberto Mancini yang bisa ”mengendalikan” dan mengarahkan dia.
Di tangan Prandelli, Balotelli tidak menunjukkan kebengalannya di lapangan. Balotelli yang biasanya bermain ”galak” dan rajin mengejar bola itu malah bermain seperti tanpa spirit setelah beberapa kali Antonio Cassano mengecewakannya dengan lebih banyak bermain sendiri.
Dengan sejumlah persoalan yang menerpa para pemain andalannya, Prandelli sejak awal kesulitan untuk menentukan formasi yang pas bagi Italia. Meski Prandelli dikenal lebih menyukai formasi 4-3-3, dia juga sudah berusaha mengubah menjadi formasi 4-4-2, bahkan kemudian 4-3-1-2. Akan tetapi, masalah utamanya tetap belum terpecahkan, yaitu ketiadaan gelandang serang untuk bermain di belakang para penyerang.
Thiago Motta, Ricardo Montolivo, dan Claudio Marchisio sebenarnya diarahkan untuk menjadi tandem Balotelli dan Cassano, tetapi mereka agaknya gagal menjalankan tugas. Maka, Prandelli pun kemudian memilih formasi 3-5-2, dengan Cassano dan Balotelli di lini depan.
Dua penyerang utama Italia, Balotelli dan Cassano, dari dua pertandingan yang sudah dilalui, jelaslah belum menjadi pasangan yang bisa saling bahu-membahu. Upaya Balotelli mengajak Cassano bekerja sama, dengan memberikan umpan balik dan tidak egois langsung menendang ke gawang lawan, gagal dipahami Cassano sebagai ajakan untuk bahu-membahu.
Penyerang AC Milan itu bahkan tidak menyadari pentingnya membangun kebersamaan dalam tim, dengan justru menyuarakan harapan agar tidak ada pemain gay di tim Italia pada jumpa pers sebelum pertarungan melawan Kroasia. Padahal, Prandelli sudah memperingatkan Cassano akan kemungkinan pertanyaan dari wartawan mengenai adanya pemain gay dan biseksual di tim Italia itu dan bagaimana menjawabnya.
Pengaruh dari pernyataan Cassano itu langsung terlihat di lapangan, dengan tidak adanya kebersamaan di tim Italia. Cassano pun kurang mendapatkan dukungan dari pemain lainnya.
Tim asuhan Prandelli itu bermain seadanya, tanpa menunjukkan pola permainan yang jelas. Apalagi Prandelli kemudian seolah tak memahami adanya masalah di lapangan. Dia lebih menyalahkan Balotelli yang tampil mengecewakan sehingga diganti pada menit ke-69 oleh Antonio Di Natale dan baru menggantikan Cassano pada menit 83.
”Dia (Balotelli) bermain bagus di babak pertama, dia bermain menusuk. Pada babak kedua dia seharusnya terus melakukan hal itu, tetapi dia malah melakukan sebaliknya dan sulit sekali untuk mengatasi itu,” tutur Prandelli.
Padahal, gol Italia yang dicetak kapten tim Andrea Pirlo adalah hasil dari terobosan Balotelli di dekat kotak penalti.
Fisik menurun
Di sisi lain, Prandelli juga mengakui kondisi fisik pemainnya yang drop setelah menit ke-70. Usia rata-rata pemain Italia yang tidak lagi muda membuat mereka kalah dalam duel-duel dengan pemain Kroasia yang memiliki motivasi dan semangat kebersamaan yang lebih kuat.
”Kami bukannya tidak memiliki karakter. Setelah 70 menit, kondisi fisik kami drop. Kami memiliki beberapa hari untuk pemulihan. Namun, manakala itu terjadi lagi, kami perlu memiliki tim yang lebih seimbang. Ketika memiliki tim yang lebih seimbang, anda bisa langsung beraksi untuk 90 menit meskipun kelelahan,” papar Prandelli.
Oleh karena itu, untuk pertandingan berikutnya, pelatih Italia itu merencanakan menyegarkan tim yang akan diturunkan di lapangan, tetapi dengan tak mengubah formasi 3-5-2.
Di tengah sejumlah problem cedera yang mendera para pemain kuncinya, antara lain Andrea Barzagli dan Domenico Criscito, Prandelli memang dipusingkan dengan bagaimana agar para pemain lainnya yang sudah tidak muda lagi itu bisa terhindar dari cedera. Padahal, kondisi Pirlo, Balotelli, ataupun Cassano belumlah 100 persen, setelah ketiganya juga menghadapi masalah kesehatan beberapa waktu lalu.
Dalam kondisi yang sangat tidak ideal itulah, Prandelli harus berjuang membangun tim Italia. Sayangnya, pelatih Italia itu masih menomorduakan Di Natale. Padahal, dialah satu-satunya penyerang Italia yang berkemampuan sebagai pencuri bola di lini depan.
Kompak dan bersemangat
Bertolak belakang dengan tim Italia, penampilan Kroasia saat melawan Italia menunjukkan tim ”kuda hitam” ini memang memiliki potensi untuk terus maju ke babak lebih tinggi berkat kekompakan tim dan semangat tinggi para pemainnya.
Pelatih Kroasia Slaven Bilic meneruskan permainan timnya yang sederhana, tetapi efektif, dengan mengandalkan Luka Modric sebagai pengatur permainan dan duo Nikica Jelavic dan Mario Mandzukic di lini terdepan.
Dengan kekuatan pasukan yang lebih merata, begitu juga di barisan bangku cadangannya, Bilic bisa lebih gampang merotasi pemain untuk menjaga kesegaran timnya.
Dengan permainan bola-bola panjang yang langsung menusuk ke jantung pertahanan lawan, barisan penyerang Kroasia sering kali menembus benteng pertahanan Italia lewat adu sprint.
Bilic berani mengambil risiko dengan lebih memilih para pemain yang segar dan bertenaga di barisan depan meski mereka belum berpengalaman dalam pertarungan besar. Baik Jelavic maupun Mandzukic adalah para pemain yang belum berpengalaman di laga internasional, tetapi terbukti mampu menggantikan Ivica Olic, penyerang andalan Kroasia yang tidak bisa dimainkan karena cedera. Dengan tiga gol di tangan, Mandzukic makin ”panas” untuk mencetak gol ke gawang Spanyol, lawan berikutnya.